Sunday 20 December 2015

Pristiwa Mantenan Dan Hilangnya Tradisi Angkat Jodang


Sudah sejak zaman dulu bila memasuki bulan maulid atau robbiulawal dimana - mana banyak menggelar hajatan , khususnya hajatan mantenan, begitu pula didesa kembangan pada bulan tersebut biasanya selalu menggelar acara hajatan mantenan.

Seiring dengan berkembangnya zaman dibarengi pula dengan majunya tekhnologi, pola pikir manusiapun berubah begitu drastis sesuai dengan pradaban dunia masa kini. Didesa kembangan dan sekitarnya pada zaman dulu, orang mempunyai hajatan mantenan masih berpegang teguh pada adat, tradisi, budaya ,dan norma agama yang sangat kental atau menjaga kearifan lokal. Naman adat, tradisi , budaya itu semua lambat laun mulai luntur , pudar tergilas oleh kemajuan zaman.

Disini paklik prasojo akan berusaha sedikit merefres tentang  tradisi hajan manten jaman dulu , karena dibalik rangkaian kegiatan mantenan jaman dulu , ternyata banyak menyimpan arti filosofi yang sangat luhur bagi kelangsungan kehidupan sosial bermasyarakat.

Berikut ini adalah rangkaian pada kegiatan mantenan khususnya di desa kembangan dan sekitarnya pada jaman dulu :

Rangka awal biasanya pihak laki - laki menanyakan kepada pihak perempuan yang dikehendaki dengan tujuan untuk saling menjodohkan anaknya, karena memang jaman dulu rata - rata pernikahan adalah hasil dari musyawarah perjodohan. Tetapi ada juga perjaka yang naksir perawan dengan caranya sendiri. Namun tetap orang tua laki laki yang lebih dulu menanyakan kepada pihak perempuan untuk meneruskan keinginan perjaka tersebut.

Kemudian pihak perempuan menyetujui maka orang tua si pihak perempuan memberi jawaban kepada pihak keluarga laki laki dengan ditemani beberapa sanak saudara sambil membawah oleh - oleh : Lemet , katol , wingko, gemblong ,dan gedang , yang populer didesa kembangan dengan sebutan NDO - DOK LAWANG , atau dengan bahasa kemenyeknya ( sekarang ) LAMARAN.

Dalam pertemuan malam ndo-ndok lawang itu kedua belah pihak bermusyawarah untuk menentukan hari pernikahan calon penganten, dan biasanya jaman dulu para orang tua kebanyakn memilih bulan maulud. Karena rentang waktu ndo - dok lawang dengan hari pernikahan itu relatif , dan tergantung pada kesepakatan kedua belah pihak . Ada yang berjarak 1 tahun , 6 bulan dan 3 bulan. Untuk menentukan hari pernikahan kedua bela pihak saling menawarkan hari dan pasarannya untuk disesuaikan dengan hari lahir calon penganten. Bila sudah ada kata sepakat atau deal maka keluarga perempuan segera pamit pulang.

Bagi keluarga laki - laki yang mendapat oleh - oleh berupah Lemet , katol , wingko, gemblong ,dan gedang , cepat - cepat segera membagikan kepada tetangga , sanak saudara dengan rata , agar menjadi pertanda bahwa anak laki - lakinya sudah ada yang PEK MANTU , atau melamarnya.

Dengan tradisi seperti itulah maka didaerah lamongan khususnya desa kembangan dan sekitarnya , timbul anggapan bahwa pihak perempuan yang melamar laki - laki . tidak seperti lazimnya didaerah lain, laki -laki yang melamar perempuan. Memang orang lamongan jaman dulu masih berpegang teguh cerita legenda ande - ande lumut.

Disini paklik prasojo akan sedikit bercerita tentang ande ande lumut . Dikisahkan pada cerita legenda ande - ande lumut bahwa mbok rondo ndadapan mempunyai lima orang gadis yang bernama , 1 klenting abang , 2 kleting ijo , 3 kleting biru , 4 kleting ungu dan yang paling bungsu 5 kleting kuning. Kelima putri mbok rondo tersebut ingin menjadi istri putra raja yang bernama ande - ande lumu yang mengadakan sayembara untuk mencari istri. Keleting abang , ijo , biru dan ungu waktu itu berangkat bersamaan untuk melamar ande - ande lumut , yang mana meninggalkan sibungsu kleting kuning. Dan akhirnya kleting kuning menyusul sendiri untuk melamar. Keempat kleting yang lebih dulu berangkat, dan mau nyebrang bengawan sudah tidak ada perahu, akhirnya bertemu dengan makhluk halus yang menjelmah sebagai yuyu kang kang, yuyu kang kang menawarkan jasa untuk menyebrangkan keempat kleting dengan syarat minta upah ciuman ( ambung) , dan keempat kleting menyetujuinya. Sesampai ditempat ande ande lumut keempat kleting menyatakan niatnya untuk melamar ande - ande lumut . namun tidak ada satupun yang diterima , karena ande - ande lumut sudah mengetahui bahwa keempat kleting ini sisa dari yuyu kang kang (sudah dicium yuyu kang - kang ). 

Keleting kuning yang menyusul juga bertemu yuyu kang - kang tetapi kleting kuning tidak mau untuk disebrangkan , dengan pusaka yang diberikan oleh mbok rondo ndadapan sebelum berangkat, kleting kuning bisa nyebrang bengawan dengan sendirinya . Akhirnya sampai juga ketempat ande - ande lumut dan langsung menyatakan niatnya untuk melamar ande- ande lumut , karena ande - ande lumut mengetahui kleting kuning yang tidak mau disebrangkan oleh yuyu kang - kang maka ande - ande lumut langsung menerima dan dijadikan seorang istri. inilah sedikit cerita tentang legenda ande - ande lumut untuk masyarakat lamongan.

Kembali kepokok bahasan hajatan manten jaman dulu di desa kembangan , zaman dulu hajatan digelar dengan sangat sederhana dan masih berpegang pada adat tradisi yang adi luhung. Seperti ndo - dok lawang memang sampai saat ini masih ada tetapi banyak hal - hal yang sudah dilupakan karena zaman sudah moderen semua ingin yang lebih praktis.

Ketika menggelar hajatan manten biasanya ada tarop (tenda), tarop jaman dulu terbuat dari kajanag yaitu ghedeg yang tipis tetapi sekarang sudah moderen yang berbentuk tenda biru bahkan berwarna - warni. Tarop = Ditotoh cek murop , yang artinya semua ditata rapi agar bersemangat yang memimiliki hajatan khususnya kemantennya. Dan biasanya zaman dulu disekeliling tarop  dihiasi dengan janur kuning , Janur kuning = Jan - jane Entuk Nur wening ,yang artinya Calon kemantin sudah mendapat petunjuk cahaya yang terang. Didepan tarop ada tebu , Tebu = Anteb ing kalbu , Artinya diharapkan keteguhan hati kemantin menjadi mantab. Di samping tebu juga ada cengkir kuning ( gading ) , Cengkir = Kencenge pikir , artinya diharapkan manten harus memiliki pikiran kuat serta lurus untuk membina rumah tangga. Dan yang terakhir didepan tarop ada godong ringin. Godong ringin = Sing keri ojo kepingin = Jika sudah bersuami istri dikemudian hari jangan terpikat yang lain. Itulah ornamen penghias tarop yang tidak hanya untuk memeriakan hajatan , namun orang tua jaman dulu menyematkan doa pada perlambang ornamen tersebut untuk kedua mempelai, tapi di jaman sekarang sudah jarang kita jumpai.

Sajian dalam acara kemanten jaman dulu banyak sekali macamnya seperti, Gapit jeber, Gapit klutung , Opak, Krecek ( Rengginang), Carangan, Retteh, Kenaren, Bakaran, Keceput , Onde - onde, Madu Mongso, Kripi, Rangin, Arang - arang Getas, Kucur , dan Gemblong. Namun sekrang hilang satu persatu dan digantikan makanan super praktis yaitu dengan Indomie.

Untuk kelangsungan dalam pagelaran hajatan zaman dulu para pelandang ( membantu sukarela ) sangat semangat, kompak, dan rukun sekali. Ketika tarup  sudah berdiri para pelandang rame - rame membagi tugas. Ada yang meminjam cangkir, piring ke tempat rumah pak RT karena barang - barang tersebut disimpan disana sebagai asset RT. Ada juga yang meminjam Meja dan kursi (Dingklik)  ke para tetangga sekitar. Bagi pelandang ibu - ibu ada yang diberi tugas meminjam tenong, Tenong adalah wadah jajan yang digunakan pada saat cinjo manten setelah resepsi, dan membawahnya di atas kepala. Itulah gambaran keguyupan peristiwa pelandang jaman dulu , dan bila dilihat dari sisi ekonomi lebih irit dari pada sekarang yang mengandalkan pinjam / sewa.

Akad nikah jaman dulu selalu datang ke KUA , di Kecamatan dengan diantar sanak saudara serta sebagian pengiring beramai - ramai, kecuali pada hari minggu Akad nikah harus mendatangkan Naib kerumah. Jaman dulu hiburan di acara hajatan manten hanya nanggap corong atau speaker yang memutar lagu - lagu bergendre orkes melayu. Sedangkan yang memiliki corong tanggapan adalah Wak H. Majid RT 5 atau H. sajam ayahanda Ismail dan Doel Hadi. dan sebagai operatornya adalah Almrhum H. soleh / Wak carik (blum jadi carik) RT 5. Selang beberapa tahun kemudian H. Suwoto RT 7 menyusul memiliki Corong Tanggapan. Dengan Tanggapan Corong yang memutar musik berulang - ulang itu sudah cukup menjadikan acara menjadi meriah, karena waktu itu sound system belum ada.

Kedua mempelai pengantin hanya duduk di kursi seadanya dan memasang wajah bahagia serta sedikit malu - malu kucing. Karena pada saat itu kuade belum populer. Dan kebanyakan pengantin putri dirias oleh juru rias yaitu ibu Rohmah ibunya Cak Hari RT 1. Bila ibu rohmah mendapat order rias manten , meskipun saat itu tidak membuka salon, jauh - jauh hari pihak manten putri harus sudah  memberi kabar terlebih dahulu kepada ibu rohma karena biasanya sebelum merias kemantin ibu rohma selalu menjalankan ritual puasa terlebih dahulu. Dengan alasan agar ketika merias manten wajah penganten diharapkan menjadi bersinar mengeluarkan aura yang dahsyat.

Memang kuade / pelaminan sudah ada pada jaman dulu, namun melihat kemampuan ekonomi keluarga manten khususnya didesa kembangan tidak mampu untuk menyewa kuwadhe.. dan jaman dulu memang ada yang dikuwadhe didesa kembangan, orang kembangan pertama kali yang di kuwadhe adalah Mbak Khotimah Putrinya pak kahar RT 6 ketika menikah dengan Yono keponakannya mbah mun jari. dari mojoagung  yang aslinya tinggal di RT 7, Pada Tahun 1973.

Untuk penganten putra yang berangkat ke tempat pengantin putri zaman dulu selain membawah tikar , bantal , kasur , dibarengi juga pengiring yang banyak dan di rombongan belakang pasti ada pasukan mikul Jodang. Dan paklik prasojo sendiri juga sering sekali menjadi pasukan mikul Jodang. Jodang adalah tempat atau wadah yang terbuat dari kayu jati yang diukir rapi, berbentuk seperti peti , berfungsi untuk wadah oleh - oleh atau makanan yang dibawah oleh kerabat penganten putra. Jika penganten putra memiliki krabat yang amat banyak maka dapat dipastikan membawah jodang yang banyak pula , dari 10 - 20 jodang. Isi Jodang sendiri hanya 2 macam makanan ,misalnya , gemblong sama pisang , Opak sama krecek , Kucur sama rangin , kenaren sama bakaran , dan kombinasi lain - lainnya. Jodang = Nek wes ndue bojo ojo begadang , yang memiliki arti , Kalo sudah bersuami istri jangan suka keluyuran sendirian, dikhawatirkan gampang tergoda orang lain. Istilah sekarang selingkuh.

Tetapi Jodang sekarang sudah hilang, dan diganti dengan kotakan kardus sedikit hiasan yang diangkut dengan mobil. Berkatan para pengiring jaman dulu juga sangat unik sekali ,. makanan yang ditaroh dalam tumbu , tumbu sendiri adalah wadah yang terbuat dari daun lontar yang bertutup, lalu diikat dengan janur, karena jaman itu belum ada tas kresek. Sedangkan tas kresek baru diproduksi pada sekitar tahun 1980.

Manten Putra jaman dulu punya pedoman atau semboyan lima  (5) M, yaitu , Madep, Mantep , Manut, Marang Moro Tuo. Karena masih berpegang teguh dengan adat sopan santun atau keluguan. Tetapi jaman sudah moderen Pedoman / semboyan manten kini berubah , Manten sekarang berpedoman pada M 27. Yaitu , Madep , Mantep , Mangan , Melu, MoroTuo. Morotuo, Mergawe, Mantu, Malah, Mire. Mertuo, Menesu, Mantu, Malah , Mesam, Mesem, Mertuo, Mureng, Mureng, Mantu, Minggat, Muleh, Morotuo ,Mati, Mantu, Melu, Marisi.

" Mantu yang berarti di eman-eman cek menehi putu, Morotuo yang berarti Moro - moro dadi Tuo".

Demikianlah cerita tradisi manten jaman dulu yang mulai memudar, hingga hilangnya judang disekitar tahun 80-an, bila ada kurang lebihnya paklik prasojo mohon maaf sebesar -besarnya.

Dirilis  : Oleh Admin Cangkru'e Desa Kembangan
Penulis : Pak lek Prasojo Kaniraras
Sumber : Pak lek Prasojo Kaniraras

No comments:

Post a Comment